Sudut Sofa Merah
Aku menulis cita tanpa jiwa, sebab raganya sudah lama tiada. Aku berbagi cita kepada raga lainnya, yang ku harap memiliki jiwa, telat ku tahu ternyata jiwanya pun terluka. Aku sampaikan cita kepada raga dan jiwa yang berkawan baik sejak belia, tapi mereka tak mau menerima. Atau aku aja yang menolak diterima?
Cita tidak pernah memiliki siapa, ia hidup bebas sembari terus mencari pemiliknya. Ia berbeda dari yang lainnya, perihal apa terus menjadi pertanyaannya. Sekarang apa lagi? Apa lagi yang harus kulakukan?
“Pergi saja, kau harus bisa menerima, waktu akan membantumu membaik” pesannya.
Lagi-lagi si waktu harus menjadi pahlawan disaat seperti ini, lagi-lagi. Padahal aku tidak kenal dengannya, tapi namanya selalu dibawa-bawa dalam urusanku. Apa mungkin sekarang aku harus berteman dengan si waktu? Bisa saja ia membantu, tapi, sebentar, cita tidak bisa hidup bergantung pada yang lainnya, Ia sendiri, bebas.
Comments
Post a Comment