Posts

Showing posts from 2020

Tenggelam

Tidak pernah tentang waktu yang terus berjalan, tidak pada hari-hari yang kau yakini akan terasa seperti biasa saja, padahal tidak pernah ada yang baik-baik saja. Pada akhirnya, kau akan paham bahwa waktu tidak pernah menyembuhkan. Ia hanya memainkan peran tanpa peduli banyak yang menaruh harapan. Harusnya kita tidak berbagi dengannya, secara tidak sadar kau melepaskan sedikit ego untuk yang tidak seharusnya. Aku pernah bersembunyi bersamanya, saat naluri dan logika tidak searah. Larut dan tenggelam, sekali lagi meyakini waktu akan memperbaiki. Sampai saatnya tersentil dan sadar itu hanya membawamu semakin tenggelam bahkan terkubur dalam bayangan. Bahkan ketika itu menjadi satu pilihan diantara yang lainnya, yang memang tidak seharusnya dijadikan sebuah pilihan. Namun, kepada siapa lagi harus disampaikan? Rebahkan dirimu pada kenyataan, sulit, saat jarak antara bayangan bahkan lebih dekat ketimbang ungkapan kesedihan. Mati rasa atau pura-pura tidak punya iba demi menyelamatkan diri dar...

Renjana

Renjana kepada sang lara. Mereka berbagi kisah tentang hidup dua dunia, padahal keduanya ada ditempat yang sama. Lampu kuning sedikit muram, tatapan kosong kepada angan, pertanyaan-pertanyaan ala kadarnya sebagai bumbu agar cerita ini terus berjalan. Renjana berkawan dengan bara api keinginan, agar harinya jauh dari kata begitu saja.  "Sedang apa?" "Tidak ada" Di sudut meja panjang, kutemukan kau berbalut kaos oblong hitam, dengan kedua mata yang bercahaya dan senyuman manis yang apa adanya. Aku melihat banyak cerita disana, yang mulanya ku sadari hinggap membawa rasa tanya. Kehidupan dua dunia kita ternyata bertemu dititik yang sama. Lantas, apa bisa aku bertamu kesana? Pada satu fakta yang belum ku tahu latar belakangnya, aku jatuh kepadanya. Hanya pada satu kenyataan yang mungkin jauh pada kata benar menurut isi kepala. Lalu jauh, kepada harapan yang menemani setiap kemungkinan di dunia. Dalam diam rupanya aku menulis namamu disana. Untuk hari-hari berikutnya, ya...

Sudut Sofa Merah

Aku menulis cita tanpa jiwa, sebab raganya sudah lama tiada. Aku berbagi cita kepada raga lainnya, yang ku harap memiliki jiwa, telat ku tahu ternyata jiwanya pun terluka. Aku sampaikan cita kepada raga dan jiwa yang berkawan baik sejak belia, tapi mereka tak mau menerima. Atau aku aja yang menolak diterima? Cita tidak pernah memiliki siapa, ia hidup bebas sembari terus mencari pemiliknya. Ia berbeda dari yang lainnya, perihal apa terus menjadi pertanyaannya. Sekarang apa lagi? Apa lagi yang harus kulakukan? “Pergi saja, kau harus bisa menerima, waktu akan membantumu membaik” pesannya. Lagi-lagi si waktu harus menjadi pahlawan disaat seperti ini, lagi-lagi. Padahal aku tidak kenal dengannya, tapi namanya selalu dibawa-bawa dalam urusanku. Apa mungkin sekarang aku harus berteman dengan si waktu? Bisa saja ia membantu, tapi, sebentar, cita tidak bisa hidup bergantung pada yang lainnya, Ia sendiri, bebas.